foto

Menyunat anak menjadi hal yang wajar di Indonesia. Namun, berbeda dengan Jerman, pengadilan setempat melarang sunat bagi warganya. “Pengaturan dari orang tua telah berakhir, apakah anak sendiri atau orang kafir sudah tak bisa dikenal,” tulis seorang warga dalam diskusi online sebuah surat kabar Jerman.

Kasus ini berawal ketika warga muslim Jerman menyunat anaknya yang baru berusia empat tahun di rumah sakit di Cologne pada November 2010. Dokter memberikan empat jahitan. Namun, saat pulang, si anak mengalami perdarahan. Perdarahan itu berlanjut selama beberapa hari. Kasus ini pun dibawa ke pengadilan.

Larangan ini dikeluarkan dengan dalih telah melanggar hak anak. Pengadilan menilai anak memiliki hak untuk menentukan agamanya di kemudian hari saat dewasa. Tak hanya itu, sunat telah mengubah bentuk tubuh yang permanen dan tidak bisa diperbaiki. Sunat dianggap bisa membahayakan.

Putusan itu ditentang komunitas agama Islam dan Yahudi pekan ini. Dua pemeluk agama yang biasanya berseteru itu kini bersatu melawan pemerintah. Mereka menilai putusan itu telah melanggar tradisi keagamaan yang berusia berabad-abad dan merongrong otoritas keagamaan. “Keputusan itu memicu diskriminasi,” kata Ali Demir, Ketua Komunitas Agama Iskam di Jerman.

Senada dengan kelompok Islam, Yahudi menilai pemerintah sudah tidak sensitif. “Intervensi belum pernah terjadi dan dramatis kepada komunitas agama,” katanya. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan satu dari tiga pria disunat. Sebanyak 70 persen mereka yang disunat muslim dan 1 persen Yahudi.

Kecaman juga muncul dari luar Jerman. Rabi Aryeh Goldberg, dari Pusat Sekolah Rabi Eropa berbasis, menyebutkan keputusan itu fatal bagi kebebasan beragama. “Mereka merusak kebebasan dasar agama dan diabadikan dalam konstitusi Jerman," ujarnya.
 
Top